Namanya Alvin, cowok yang aku taksir hampir 1 tahun lamanya
setelah sekelas terlewati bersama namun masih saja tak ada tanda-tanda
ia mulai tertarik padaku. Yah,aku cewek biasa yang tak terlalu
istimewa dan keberadaanku pun begitu tak terlihat di kalangan sekolah.
Mana mungkin bisa seorang cowok sedingin Alvin mau melirikku kalau
anak cowok yang ‘standar’ aja enggan.
Tapi aku masih tetap
berharap. Berharap sering berseliweran di kehidupannya, baik di depan
kelasnya, menjadi penonton rahasia saat ia bermain bola sepak di jam
olahraga, berusaha duduk sedekat mungkin dengannya saat di kantin dan
mengikuti klub fotografi untuk sekadar menatapnya dan mencuri-curi
foto pada wajahnya yang tampan,Akan meruntuhkan hati seorang Alvin.
Alvin,
dia berbeda. Dia bukan hanya tipe-tipe cowok cakep dan keren yang
digilai hampir semua cewek di sekolah, tapi dia juga tipe cowok yang
dingin. Aku hampir tak pernah mendapat kabar kedekatan Alvin sama
cewek (bukan berarti dia gay juga lho!). Bahkan ia sangat jauh dari
prediket playboy seperti yang disandang cowok-cowok keren lainnya.
Alvin, kamu bener-bener ‘my perfect prince’!
Seperti
biasa, kali ini aku tengah menguntit Alvin saat dia lagi di
perpustakaan. Aku tau pasti Alvin bukanlah tipe cowok kutu buku yang
menggilai perpus, tapi dia Cuma ‘terpaksa’ karena kelasnya sedang
pelajaran bahasa indonesia dan memang diharuskan ke perpus untuk
mencari beberapa novel terjemahan.
Aku sendiri bukannya jam
kosong atau pulang cepat tapi membolos jam matematika pak Dave yang
terkenal galak. Cari mati? Yah kalau sudah melihat sosok
Alvin,bayangannya sekalipun didamprat pak Dave aku rela. Begitu aku
melihat sosok Alvin yang melangkah ogah-ogahan dengan wajah mengantuk
di baris paling belakang anak-anak kelasnya yang berhamburan ke perpus
dari jendela kelasku, aku langsung ijin sakit perut tapi tentu aku
malah membolos dan nggak balik pelajaran pak Dave lagi.
Demi Alvin, dicacimaki pak Dave pun aku rela asal kamu tahu, Alvin!
Namun,
Alvin tetaplah Alvin, seberapa kerasnya aku berusaha menempel sedekat
mungkin dengannnya ia tetap acuh. Apalagi kalau yang nempel adalah
aku, Ify, seorang cewek yang bertipe pemalu dan tukang grogi. Aku bisa
dibilang ‘gadis tak terlihat’ karena keterlaluanku dalam
menyembunyikan diri. Aku bersembunyi dari teman-teman, saudara,
tetangga, dunia, bahkan aku terus menutupi diriku dari diri sendiri.
Aku sering rendah diri dan merasa aku tak ada di tempatku berpijak.
Aku sering minder dan tak pede dengan apa yang aku miliki.
Semua
ini tentu bukan tanpa alasan. Lelaki itu, orang yang seharusnya
kusebut ‘papa’ namun aku amat membencinya. Orang tak bertangggung
jawab yang membuat mamaku harus memikul malu seorang diri dalam
membesarkanku. Kami menutup diri dari dunia karena kami merasa malu
dan hina. Aku merasa rendah bila berhadapan dengan orang-orang
terhormat.aku tau ini bukan salahku yang terlahir dengan keadaan
begini, tapi inilah pilihan hidup yang memang kujalani.
Aku
hanya berpenampilan selayaknya orang di sekitarku tanpa pernah berniat
untuk menampilkan ‘inilah aku’. Aku hanya punya satu teman yang mampu
mengerti keadaanku, dan parahnya, coba kau tanya pada anak-anak di
sekolah beda kelas denganku, apa kau tau Ify? Mungkin mereka akan
langsung menggeleng cepat atau bertanya balik ‘ify siapa? Baru
denger..’ bahkan anak-anak di kelasku pun sering tak menyadari
kehadiranku di kelas mereka. Mengenaskan memang tapi inilah pilihan
hidupku, nyaman menjadi tak terlihat. Aku jadi bisa menguntiti Alvin
semauku karena tak terlihat. Aku bahkan tak pernah bisa mengajak Alvin
ngobrol barang sepatah katapun, mungkin bisa dibilang aku adalah
pemuja rahasia, jadi inget lagunya sheila on 7 pemuja rahasia.
aku lah orang yang kan selalu mengawasimu
menikmati indahmu dari sisi gelapku
dan biarkan aku jadi pemujamu
jangan pernah hiraukan perasaan hatiku
tenanglah tenang pujaan hatiku sayang
aku takkan sampai hati bila menyentuhmu
aduh
lagunya aku banget nih... selesai melamun aku kembali mencari-cari
sosok Alvin yang tentunya tak jauh dari tempatku duduk. Ia tengah
berdiri di salah satu rak novel lalu melihat-lihat deretan buku dengan
malas.
Selesai mengambil sebuah buku dengan asal dan
membuka-buka sebentar dengan ogahan ia berjalan gontai lalu duduk di
sampingku (kursi paling dekat dengan rak novel yang sudah kurencanakan
sebelumnya). Ia hanya menaruh bukunya asal, duduk tanpa menolehku
lalu meletakkan kepalanya di kedua tangannya yang tertelangkup di meja
baca... menghadapku! Melihatku sekilas lalu matanya terpejam. Astaga,
wajah tidurnya saja cakep banget! Oh Alvin! Aku hanya terus
menatapnya yang terpejam itu tanpa bisa berkutik, lama-lama aku tak
tahan untuk menyentuh wajah cowok di depanku ini.
Jangan
Ify! Alvin belum tidur beneran, kalo kamu sentuh dia bakal bangun dan
kamu belum tau apa yang akan terjadi selanjutnya! Batinku mencegah.
Lagi-lagi aku hanya meneguk ludah dan diam memandang wajahnya. Ya
Tuhan, matanya, hidungnya, bibirnya, dagunya, rambutnya... semuanya
begitu sempurna dimataku. Alvin, sekeras apapun batinku mencegah namun
tangan ini tak mau berkompromi, perlahan kusentuhkan ujung jariku ke
pipinya lalu perlahan ke dagunya.. halus.. Astaga, aku benar-benar
menyentuh Alvin setelah sekian lama menjadi pemuja rahasianya! Dan
bahkan mungkin akulah cewek pertama yang bisa memandang Alvin sedekat
ini dan Menyentuh wajahnya!
Kesadaranku mulai pulih dan aku
langsung bangkit dan berjalan cepat keluar dari perpus menahan smeua
rasa maluku, menahan kebahagiaanku dan pipiku yang bersemu. Aku
semakin berlari dan tersenyum tiada henti terbayang wajah tidur Alvin!
Tiba-tiba di tengah tawa bahagiaku...
‘BRUKKKK...’
“AWW!!”
pekik seseorang di hadapanku. Suara cewek. Aku langsung bangkit,
berdiri dan mengelus jidatku yang menjadi korban tabrakan dengan cewek
di depanku, sakit... aku pun langsung sadar diri dan mengulurkan
tangan kananku dengan niat membantu cewek itu berdiri. Tapi di luar
dugaan, ia malah menampik tanganku keras.
“NGGAK USAH!
Jangan sok-sokan deh lo mau nolong segala.. udah jalan nggak pake
liat-liat maen nabrak anak orang! Lo nggak tau siapa gue?”
astaga,suaranya cempreng banget bikin kuping sakit, emangnya siapa sih
cewek ‘sok’ ini? Ia segera berdiri sambil terus mengomel dengan suara
cemprengnya lalu membenahi rok mininya yang ‘agak’ kotor juga rambut
panjangnya yang sebenarnya sih masih rapi. Dia menatapku tajam seolah
akan menerkamku seperti singa betina kelaparan.
Aku menggeleng pelan. Membuat bola matanya yang besar-besar hendak melotot keluar dari rongganya.
“WHATTT? What the hell lo nggak kenal gue?”
Lagi-lagi
aku menggeleng, aku memang nggak kenal sama cewek cempreng ini.
Lagi-lagi dia melotot lalu mengulurkan tangan sambil menyebutkan nama.
“Ashilla
Zahrantiara” ia memamerkan nama panjang yang asing di kupingku. Aku
melirik bet kelasnya, ternyata ia anak kelas 11 juga, seangkatanku!
Aku pun mencoba mengulurkan tangan menyambutnya seraya menyebut nama..
“If...”
“NGGAK
PENTING! Emang gue tanya siapa elo?” ucapnya kasar seraya menarik
kembali tangannya kemudian pergi dari situ setelah sebelumnya sempat
mencibirkan bibirnya. Aku Cuma bersalaman sama udara. Sebelum kepalang
malu, aku pun menarik tanganku lagi dengan cepat dan berjalan ke
kelas dengan perasaan jengkel. Lenyap sudah rasa bahagiaku tadi
menyentuh Alvin terhapuskan oleh kegalakan si nenek lampir yang
nyebelin yang namanya aja nggak satupun keinget di otakku.
Keesokan
harinya aku kembali melancarkan serangan PDKT rahasia pada Alvin,
kali ini lokasinya di kantin sekolah. Rencananya sih ketika bel bunyi
aku akan langsung lari ke kantin dan memilih meja yang dekat kedai
baso karena kemarin sempet denger Alvin dan temen-temen basketnya
ngobrol kalo ada yang menang tanding musti traktir baso.
And
the pity is, hari ini pelajaran musik Bu Winda, ibu-ibu satu itu
memang doyan banget ngajarin not-not balok yang disuruh nyanyiin
sekelas alhasil kelas kita keluar lebih lama sesudah bel berbunyi.
Dengan cepat aku ngeloyor ke kantin tapi ternyata sudah penuh sesak.
Dan kulihat beberapa teman Alvin sudah duduk menikmati basonya di meja
yang kurencanakan. Aku pun langsung berubah madesu dan kecewa. Tak
ada lagi tempat buatku. Aku pun melangkahkan kaki malas ke kedai soto
ayam karena memang Cuma kedai itu yang masih ada meja meskipun antrean
brutal juga terjadi. Kami saling berdesakan memesan soto
sampai-sampai tubuhku yang pas-pasan langsung kehimpit tubuh-tubuh
lapar. Aku berusaha berteriak-teriak menyaingi lereka meluapkan
emosiku.
“SOTO AYAM 1 NGGAK PAKE TELOR!” aku terus
berteriak-teriak menggila sampai tanpa sadar semua mata di sekitarku
melihatku ganas. Ups,aku kelepasan.
“nggak usah pake toa
kali” ucap seorang cewek beberapa baris di depanku sambil menatap
sinis, aku nggak kenal dia. Aku pun tertunduk malu dan mulai beringsut
sedikit demi sedikit mundur dari kerumunan berusaha menjadi sekecil
mungkin agar tidak tampak, cukup sudah aku menjadi pusat perhatian
karena itu sangat bukan tipeku.
Setelah lolos dari kerumunan
masa yang menggila aku berbalik bermaksud menyembunyikan setitik air
di sudut mataku. Aku tak tahu kenapa mataku panas mungkin karena
jengkel nggak bisa deket sama Alvin atau bahkan Cuma melihat wajahnya
pagi ini saja tak bisa dan yang kedua karena aku dibentak di khalayak
umum ! aku nggak suka! aku malu! aku muak jadi pusat perhatian!
Baru
saja kuangkat wajahku, 2 buah mata bening yang tak asing muncul di
hadapanku, menatapku dengan pandangan yang tak bisa kusangka. Dia
Alvin! Orang yang paling ingin aku temui pagi ini berdiri tak kurang 1
meter di depanku, membuat aku hanya bisa meneguk ludah dan melotot
kaget.
“kenapa liatin gue kayak gitu?” tanyanya kemudian. Oh
God, ini pertama kali Alvin ngajakin aku ngomong! Rasanya aku pengen
terbang menuju atmosfir berlapis-lapis,naik lumba-lumba akrobatis
meluncur ke rasi bintang paling maniiis (ups,sorry) moga saja ini
bukan mimpi!
Aku tak dapat berkata apa-apa. Bibirku hanya
buka-katup seperti ikan koi. Rasanya suaraku tercekat di dalam sana
meski aku ingin, ingin bicara membalas pertanyaannya supaya tak
terlihat seperti gadis bodoh di depan Alvin!
Tanpa
bertanya-tanya lagi, Alvin menyodorkan semangkuk soto di tangannya,
aku hanya memelototi soto tak berdaya itu tanpa meraihnya.
Aku menundukan mataku pada soto itu karena aku tak ingin bertatap mata dengan mata Alvin yang membuatku belingsatan itu.
Kuarahkan
pandanganku pada jemari Alvin yang mencomot telor setengah butir
dengan garpu lalu perlahan telor itu menghilang di mulutnya. Aku hanya
bisa memandang takjub seolah melihat Alvin makan telor aja seperti
sebuah peristiwa langka yang patut dirayakan!
Ia kembali
menaruh garpunya di mangkuk dan lenyodorkan lebih dekat padaku, kali
ini aku meraihnya tanpa suara, dan kulihat Alvin tersenyum tipis lalu
pergi dari aku yang masih mematung menatap semangkuk soto ‘tanpa
telor’di depanku.
Aku masih tak percaya dengan perbuatan Alvin
tadi di kantin, ia benar-benar memberikan semangkuk sotonya padaku
dan bahkan ia mengurangi telor yang tak kupesan. Wow. Eeh woooow!!!
Aku menepuk-nepuk pipiku dengan ujung bolpoin di tengah pelajaran pak
Damar siang ini dan mengacak-acak poniku gemas.
Alvin, apa
kamu nggak tau dengan berbuat seperti pangeran begitu kamu membuat
jantungku makin berdebar tak menentu, kamu membuat aku makin
tergila-gila sama kamu? Oh,Alvin!! makin cintaaaa sama kamu!
Beberapa
hari berlalu semenjak peristiwa soto Alvin di kantin. Aku terus
mengenangnya sampai nggak bisa tidur dan kebayang-bayang terus senyum
tipis Alvin saat aku menerima sotonya dengan tampang blo’on. Sekarang
ini, aku bersemangat sekali karena hari ini dan Libur tapi tentu bukan
Cuma itu yang membuatku senang dan berdebar-debar, tapi karena pagi
ini kami anak fotografi akan hunting foto ke musium batik. Aku sangat
senang nanti seharian bisa bertemu Alvin, meski aku tak akan sampai
hati untuk menyapanya, aku hanya akan memandang wajah asiknya memotret
dari jauh, lalu curi-curi foto dirinya, atau mengendap-endap
bersebelahan di sampingnya tanpa ia sadar, seperti biasa. Aku suka
begini dan aku nyaman, menjadi pemuja rahasia cukup membuatku begitu
berdebar.
Pagi-pagi sekali aku sudah rapi dan wangi dengan
parfume mahal yang baru kubeli kemarin dengan menyisihkan uang jajan
beberapa minggu. Aku berkaca di depan cermin besar di kamarku. Wajahku
sih seperti biasa, menurutku aku biasa saja kalo dibandingkan dengan
cewek-cewek ganjen dan centil di sekolahku. Meski kata mama, aku
memiliki aura cantik dari dalam, memiliki bola mata bulat,hidung
mungil dan senyum manis. Tapi aku sendiri selalu menampik semua itu
karena kerendah dirianku. Aku selalu merasa aku tak secantik yang lain
maka aku selalu bersembunyi dari dunia dan berpenampilan sebiasa
mungkin. Aku lebih suka tenggelam daripada mencolok di keramaian.
Tapi
hari ini aku ingin membuktikan kata-kata mama. Aku ingin ‘tampil
cantik’. Aku ingin hanxa Alvin yang melihatku hari ini, aku ingin di
saat tak ada yang memperhatikanku ‘seperti kemarin’ Alvinlah yang
peduli padaku. Semua demi Alvin. Apalagi kejadian kemarin membuatku
lebih bersemangat untuk mengejar Alvin ‘dengan caraku’.
Sebuah
jepit biru tua menghiasi sebelah rambut panjang yang tergerai lengkap
dengan poni lurus menutup dahi. Aku suka poni begini karena mampu
menutupkan mata bundarku yang mencolok, seperti biasa aku tak suka
terlalu terlihat. Sebuah rok selutut yang agak menggembung berwarna
coklat tua dipadu dengan tangtop putih dibalut cardigan biru tua
melengkapi penampilanku hari ini. Setelah merasa cocok aku segera
menyamber tas kameraku dan berlari kecil menuju dapur dimana mama
sedang membuat nasi goreng.
“pagi mama..” sapaku riang mengejutkan mama. Mama menoleh dan berhenti mengaduk sejenak memperhatikan penampilanku.
“manis sekali anak mama hari ini, mau kemana sayang?”
Pipiku bersemu merah. Dan menjawab malu-malu.
“mau ke musium batik sama anak-anak klub fotografi,ma.”
“pasti
ada si dia ya kok ceria amat mana cantik banget lagi..” mama menggoda
nih, bikin tambah salting aja. Aku Cuma senyum-senyum malu, malu
bangett..
“ih mama apaan sih.. ma, nasi gorengnya buat bekal aja ya”
“lho,
nggak sarapan dulu nih?” aku menggeleng. Beberapa saat kemudian nasi
goreng telah matang dan mama manaruh di piring-piring yang telah
disiapkan, aku segera mengambil tepak nasi dan menaruh satu piring
nasi ke dalamnya.
“biar dingin dulu, Fy.” Ucap mama.
“buru-buru
ini ma. Ify berangkat ya.” setelah menaruh bekal di tas foto bagian
depan aku mencium pipi mama kanan kiri lalu bergegas keluar dari
rumah. harus segera mendapat angkot biar nggak ditinggal. Semangatku
masih meluap-luap.
Akhirnya setelah menempuh perjalanan
setengah jam dari sekolah tempat kami berkumpul, minibus yang telah
kami sewa berhenti di depan musium batik. Dari luarnya saja sudah
indah untuk difoto apalagi dalemnya. Aku jadi tak sabar, tapi yang
lebih taks abar lagi adalah menguntiti Alvin seperti biasanya.
Baru
turun dari bus saja mataku sudah sibuk mencari-cari sosok Alvin,
dan... ketemu! Dia sudah di pintu masuk tengah mengatur kameranya
dengan beberapa anak laki-laki yang juga anggota klub.
Aku
bersemangat mendahuluinya sekadar lewat di sampingnya sedikit berharap
ia akan melihatku. Tapi sayang, ia masih sibuk dengn kameranya hingga
tak melirikku sama sekali. Atau mungkin karena aku terlalu ‘tak
terlihat’? Entahlah...
Sampai di dalam musium pertamanya aku
bersemangat sekali memotret beberapa scene indah di sini. Ada yang
bagus aku langsung berlari kecil dan memotret sesuka hati tanpa
melihat nilai seni, kalo aku suka ya aku potret saja, toh aku masuk
klub ini bukan karena aku suka seni, tapi untuk menguntit Alvin tentu
saja. setelah setengah jam-an lebih ,lelah dan sudah bosan memotret,
aku duduk berselonjor di sudut ruang membatik. Di sini ada
patung-patung perempuan mengenakan jarit dan kebaya tengah
menggoreskan malam ke kain putih. Kebetulan ruangan ini masih sepi
karena anak-anak lain belum sampai sini tentu saja mereka tertarik
dengan ruangan-ruangan sebelumnya tak seperti aku yang asal sampai
saja.
Tiba-tiba aku menangkap sosok Alvin yang mengayunkan
kameranya dan mulai memicingkan matanya memotret sebuah patung agak
jauh dari tempatku duduk. Posisiku memang cukup tersembunyi hingga
Alvin tak melihatku, atau aku yang terlalu ‘tak terlihat’?
Sosok
Alvin yang tengah memotret begitu mempesona di mataku. Rambutnya yang
agak acak-acakan ditambah poninya yang mencuat terdesak lensa kamera,
posisi tangannya yang membidik dengan lihai dan tubuhnya yang tinggi
dan proporsional. Meksi aku telah banyak melihat fotografer keren
beraksi dengan gaya seperti itu tapi bagiku tetap saja hanya Alvin
yang membuatku begitu terpesona dan berdebar tak karuan. Merasa
mendapat kesempatan, aku segera mengambil kamera yang tergantung di
leherku dan membidikkannya pada sosok yang tengah asik memotret itu.
Aku hanya fokus pada Alvin sampai-sampai tak menyadari kalau posisi
Alvin sudah berada cukup dekat denganku, aku terus memotretnya dengan
berbagai angle, bahkan saat ia mengelap kameranya.
Tapi
tiba-tiba aku kaget setengah mati karena Alvin berputar 90 derajat
sehingga moncong lensa kameranya menghadap tepat ke arah bidikanku.
Mata kami bertemu lewat lensa dan pada saat seperti ini aku masih
sempat menjepretkan kameraku sekali sebelum menurunkan kameraku dan
menunduk malu. Malu karena ketahuan memotretnya diam-diam. Malu yang
paling malu yang pernah kurasakan seumur hidup!
Aku
merasakan flash kamera Alvin mengenaiku sekali saat aku tertunduk
malu, pasti aku tampak mengenaskan sekali dan kudengar langkah kakinya
mendekat. Aku makin menunduk dan pura-pura sibuk melihat-lihat hasil
jepretanku. Aku sangat kaget saat Alvin duduk tepat di sampingku dan
mencondongkan badannya ke arahku untuk ikut melihat-lihat hasil
jepretanku. Kurasakan sedikit rambutnya mengenai telingaku agak risih
tapi aku.. senang.
“lumayan juga meski anglenya kurang tepat, mungkin lo harus lebih tegak waktu ngambil gambarnya.”
Aku
benar-benar shock berada sedekat ini dengan Alvin dan tak bisa
berkata-kata ‘seperti biasanya’. Aku hanya menatap
matanya,hidungnya,rambutnya, bibirnya dengan lidah yang kelu. Aku
begitu takut ia akan tau berapa keras debaran jantungku saat ini. Ia
tampak begitu sempurna di mataku! Mataku yang bulat bertatapan dengan
mata beningnya beberapa detik sebelum aku tersadar dan merogoh tas
kameraku dan mengulurkan sekotak bekalku pada Alvin. Dia hanya melihat
kotak bekalku dengan bingung. Aku bermaksud membalas kebaikannya hari
itu yang telah memberikan soto untukku.
Ia kembali menatap
mataku membuatku kembali menunduk dengan perasaan tak karuan dan
meraih bekal di tanganku. Sekilas kurasakan jemari hangatnya
bersentuhan dengan jemariku, hangat. Meski hanya sepersekian detik
tapi aku...senang.
“makasih, Ify” ucapnya dingin tanpa
senyuman sedikitpun. Aku menjadi membeku dan menyadari kalau ruangan
ini mulai dimasuki anak-anak lain. Tak enak dengan posisi begini, Aku
segera bangkit dan mencangklong tas kameraku lalu pergi dari situ
menyembunyikan rasa maluku, kebahagiaannku yang meluap-luap dan ingin
berteriak sekencang-kencang kalau aku sangat ingin bicara sama
Alvin!!!
Semalam aku tak bisa tidur lagi karena terbayang
wajah Alvin kemarin, kemarin kami bertatapan beberapa detik dan
bersentuhan jemari sepersekian detik! Aku masih terus memikirkan cara
untuk menyatakan perasaan ini pada Alvin apapun jawabannya, bahkan aku
tak begitu berharap ia membalas cintaku karena sikap Alvin yang
begitu dingin itu. Tak mengapa kalau nanti Alvin akan menolakku
seperti cewek-cewek lain yang menyatakan perasaannya dan harus pulang
dengan tangan hampa dan kecewa. Aku tak apa, toh perasaan ini memang
harus diutarakan sebelum semakin menyiksaku. Semakin menyiksaku karena
aku terus-terusan memikirkannya dan memasukkannya dalam mimpi wajibku
tiap malam.
Hari ini juga, sepulang sekolah aku akan menyatakan perasaanku pada Alvin. Harus!
Bel
pulang sekolah telah berdering beberapa menit lalu namun pantat ini
masih saja enggan berpisah dengan bangku. Berat rasanya untuk
menyatakan perasaan ini pada Alvin, entah kenapa tiba-tiba saja ada
rasa tak siap dan tak rela kalau nanti Alvin hanya akan menolak
cintaku sia-sia.
“Fy, ngapain di situ aja? Ayo pulang!” itu
adalah Zahra satu-satunya teman baikku di sekolah ini yang tengah
melongokkan kepalanya dari pintu.
“ntar Ra, gue masih ada
yang mau dikerjain. Lo pulang duluan aja” jawabku dengan senyuman.
Zahra pun mencibir sebentar lalu berlalu begitu saja.
Aku
kembali memandangi bungkusan warna putih biru di tanganku, sebuah kado
yang nanti akan kuberikan pada Alvin. Isinya adalah roll film, kalau
dicetak ada ratusan foto Alvin yang kuambil diam-diam selama ini.
Namun aku masih saja enggan mengutarakan perasaanku, takut kecewa!
Takut ditolak!
Perlahan kakiku terseret-seret enggan di
koridor menuju kelas Alvin, sekolah sudah sepi. Aku bahkan yakin
sekali kalau Alvin sudah tak ada di kelas. Aku melirik name tag kelas
ini XI-SCIENCE-6. Kelas Alvin. Kakiku berhenti tepat di depan pintu
kelas Alvin dan mencari-cari sosok Alvin.
Kakiku mendadak
lemas seketika melihat pemandangan di hadapanku. Tampak jelas di mata
bulatku yang mulai buram oleh air mata, Alvin tengah duduk di meja dan
di depannya ada cewek yang tertabrakku beberapa hari lalu tengah
bercanda-canda dengan manja. Beberapa kali pula kulihat Alvin
mengacak-acak rambut cewek itu. tak tahan dengan apa yang nanti akan
kulihat, akupun bergegas pergi meluapkan bendungan di mataku setelah
sebelumnya membuang bingkisan ke tong sampah depan kelas Alvin.
Menjauh,
jauh... benar-benar akan menjauh dari sosok itu, aku tak akan
menyebut-nyebutnya lagi dalam tidurku dan aku tak ingin lagi ia masuk
dalam pikiranku! Dasar cowok mesum! Pulang sekolah malah mesra-mesraan
di kelas sama cewek ganjen!
Pagi ini seperti hari-hari
kemarin, sudah sekitar 1 minggu semenjak kejadian pulang sekolah itu
aku murung dan tak bersemangat. Zahra satu-satunya orang yang
tampaknya menyadari perubahan padaku bergegas menghampiriku.
“lo kenapa sih Fy? Ada masalah? Udah seminggu nih lo murung, cerita dong sama gue”
Aku hanya tersenyum tipis dan menggeleng.
“gue nggak papa kok Ra.”
“nggak papa kok lesu dan murung gitu tiap hari, udahlah Fy,lo cerita aja”
Karena nggak tahan lama-lama mendam semua sendiri aku memutuskan menceritakannya sama Zahra.
“lo tau sendiri kan Ra, betapa gue menyukai Alvin.” Bisikku pelan biar Cuma Zahra yang tau.
Zahra Cuma mengangguk mengerti.
Aku
menghela napas mengingat kejadian beberapa waktu lalu dan
menceritakan apa yang aku lihat ke Zahra tapi kulihat raut muka Zahra
berubah dari serius jadi tersenyum lalu tertawa membuatku makin
bingung. Nih anak nggak punya empati sama sekali!
“yaelah Fy, jadi elo ngira Alvin pacaran sama Shilla?”
“siapa namanya? Shilla?”
“iya sama sih ,lo nggak tau siapa Shilla?”
“namanya tuh panjang Ra, bukan shilla!”
“iya namanya tuh Ashilla tapi panggilannya Shilla! Dan asal lo tau aja ya Shilla itu adik sepupunya Alvin!”
Aku
Cuma bisa melongo beberapa saat. Adik sepupu? Kok aku nggak tau Alvin
punya adik sepupu seangkatan sama kita? Pantesan aja mereka akrab
banget kemaren.
“lo salah sangka Fy.. setau gue sih Alvin tuh
masih single, tapi yaa nggak tau deh kalo sekarang, abis lo mau nembak
nggak jadi sih gara –gara curigaan” Zahra tersenyum menggodaku lalu
aku meninju bahunya pelan menahan rasa maluku. Malu karena salah
paham, malu karena mengecap Alvin yang tidak-tidak, malu karena
mengundurkan perasaanku sendiri yang sudah jelas-jelas
menginginkannya.
“udah gih sono, tembak sekarang aja! Sebelum keburu diembat yang laen, susah lho dapet cowok kayak Alvin!”
Benar
juga kata Zahra, aku harus kembali berjuang mendapatkan cintaku, atau
seenggaknya menyatakan perasaan yang membuncah di hati ini. Biar
semua jelas. Biar aku nggak terombang-ambing perasaanku sendiri!
Bel
masuk telah berbunyi, namun aku malah keluar kelas dan berlari
menyusuri koridor menuju kelas Alvin, Alvin belum ada di kelas. Aku
segera mengalihkan pandangan ke seluruh penjuru dan kulihat Alvin yang
berjalan gontai dan malas di ujung koridor, aku segera menghampirinya
dan membuatnya terkejut ketika aku datang tiba-tiba di depannya.
Tanpa babibu aku menarik tangannnya ke belakang sekolah, lapangan
basket yang tentunya masih sepi karena belum ada pelajaran olahraga.
“eeh...” seru Alvin protes, mungkin masih shock.
Kami
sama-sama terengah-engah saat duduk di kursi dek pemain tempat
biasanya kulihat Alvin meneguk minumannya setelah lelah bermain. Kami
duduk bersebelahan tapi sama-sama diam. Semua kata yang telah
kupersiapkan mendadak hilang. Sunyi...sepi...
“Alvin...”
ucapku pada akhirnya sambil memandang wajah Alvin yang diterpa sinar
matahari pagi. Begitu bercahaya di mataku, seperti malaikat. Aku
kembali tercekat.
Baru aku akan melanjutkan kalimatku, telunjuk Alvin menahan bibirku mengisyaratkanku diam. Aku kaget.
“ini pertama kalinya lo ngomong sama gue...”
Ia tersenyum manis, manis sekali hingga membuatku begitu meleleh.
“makasih Ify, roll filmnya, udah gue cetak”
Aku
kembali melongo saat telunjuk Alvin udah menghilang dari bibirku.
Alvin tampak mengaduk-aduk tas ranselnya dan mengambil album foto yang
sangat tebal lalu menyodorkannya padaku.
Aku membukanya perlahan dan tampak foto-foto Alvin dalam berbagai angle yang menurutku semuanya memukau. Aku tersenyum tipis.
“gue nggak nyangka selama ini ada yang niat motretin gue sampe segitu banyaknya.”
Aku menutup album foto itu dan berniat mengucapkan kata-kata yang tertunda tapi Alvin menyela.
“kenapa ditutup?” protesnya seraya membimbing tanganku membuka album itu dari belakang.
Aku terbelalak saat mendapati foto-foto diriku juga berbagai angle dan diambil secara diam-diam pula!
Aku
membuka semuanya, foto-foto ini jelas diambil sejak pertama aku masuk
SMA ini. Terlihat dari foto-foto ospek aku memakai atribut dan
memicingkan mata kepanasan di bawah tiang bendera, sepertinya diambil
dengan kamera hp dan yang lainnya adalah foto-fotoku yang sedang tidak
sadar. Pada halaman terakhir ada juga fotoku saat turun dari minibus
di musium beberapa mingggu lalu dan juga foto-fotoku saat sedang asyik
memotret dan berlari-lari kecil di musium, dan terakhir ada fotoku
yang tengah menunduk di pojok ruang membatik. Foto-foto itu diambil di
luar kesadaranku kecuali foto yang terakhir karena Alvin menyalakan
lampu flashnya saat itu.
“tapi gue juga nggak nyangka kalo
gue bisa mengagumi orang sampai segitu besarnya juga” ucap Alvin
membuatku lebih shock. Bagaimana nggak shock, Alvin orang selalu
kukagumi diam-diam dan kucuri-curi foto diam-diam pula ternyata juga
mencuri-curi fotoku diam-diam pula! Dan mungkin kami saling mengagumi
dan menyukai satu sama lain tanpa kami sadari.
“Fy, gue
seneng banget waktu nemuin bungkusan di tong sampah dan mendapati
banyak banget foto gue di sana, tapi kenapa gue tunggu-tunggu lo nggak
pernah muncul dan berseliweran di kehidupan gue lagi?”
Aku menunduk dan balik bertanya.
“darimana lo tau yang ngasih bingkisan itu gue?”
Alvin
tersenyum dan membuka album foto tepat di tengah, foto yang merupakan
pembatas foto-foto Alvin dan foto-fotoku. Di situ tampak besar Alvin
tengah membidik kamera tepat ke arah si pemotret ya itu foto terakhir
yang kuambil di ruang membatik!
“perlu dijelaskan?” tanyanya menggodaku yang sudah bersemu merah.
Tiba-tiba
Alvin menarik tanganku dan menatapku dalam-dalam. Aku bisa melihat
jelas wajahku di matanya yang bening. Wajahku yang takut-takut dan
penuh keraguan.
“gue udah lama menaruh hati ke elo Fy, lama
banget sejak kita bertemu tapi gue kira lo nggak suka sama gue, karena
meskipun lo ada di sekitar gue lo selalu cuek sama gue dan nggak
pernah nyapa gue..lo selalu menyendiri dan menghindar dari orang
lain..”
Ya Tuhan Alvin, bukannya aku cuek sama kamu, justru
karena terlalu dalem rasa suka aku ke kamu sampai aku nggak mampu
menyentuhmu!
“tapi sekarang gue sadar kalo lo juga memendam
rasa yang sama ke gue...gue beruntung banget” tanpa aku sangka Alvin
langsung memelukku erat, begitu erat sehingga aku begitu merasakan
kehangatan tubuhnya. Aku balas melingkarkan tanganku di punggungnya
takut-takut namun lama-lama aku semakin membenamkan wajahku di
dadanya, dada Alvin, cowok yang selama ini hanya bisa kukagumi
sembunyi-sembunyi dan dengan caraku sendiri yang malu tapi mau.
Saking bahagianya setitik air mata jatuh di pipiku.
“I love You,Alvin....truly love you” bisikku pelan di dadanya.
“i truly love you too”
Di
dalam pelukan Alvin yang hangat aku baru sadar kalau aku ternyata
membolos pelajaran pak Dave lagi, entah apa yang akan terjadi setelah
ini. Namun,posisiku sebagai gadis tak terlihat mungkin akan cukup
menguntungkan saat-saat seperti ini karena bisa jadi pak Dave ataupun
teman sekelasku tak ada yang menyadari ketidakhadiranku saat ini,
haha.
*END*
Ha ha ha. Ternyata happy ending juga...
BalasHapus